Friday, 25 November 2016

'Interkoneksi Turun, Operator Malas Jadi Makin Malas'

Polemik soal penurunan biaya interkoneksi dengan pola simetris masih terus berlanjut. Aturan ini dinilai hanya menguntungkan operator seluler yang malas membangun jaringan saja.

Interkoneksi Turun, Operator Malas Jadi Makin Malas

Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersikukuh ingin menurunkan biaya interkoneksi dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit dengan pola simetris.

Mereka berdalil penurunan dengan pola simetris akan membawa manfaat bagi industri telekomunikasi nasional. Benarkah demikian? Kalau menurut penjelasan dari para analis dan akademisi, ternyata tidak!

Leonardo Henry Gavaza, analis dari Bahana Securities, menjelaskan penurunan biaya interkoneksi yang dilakukan pemerintah tidak memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia.

"Justru penurunan biaya interkoneksi ini akan membuat operator yang malas membangun infrastruktur menjadi lebih malas lagi membangun," ujarnya lewat email, Kamis (11/8/2016).

Selain hanya menguntungkan segelintir operator, penurunan biaya interkoneksi ini menurut Fahmy Radhi, pengamat ekonomi dan bisnis Universitas Gajah Mada (UGM), akan berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi.

Dengan biaya interkoneksi ditetapkan pemerintah di bawah harga pokok penjualan (HPP), operator pemilik jaringan akan dirugikan. Sedangkan, operator pengguna jaringan akan diuntungkan oleh kebijakan penurunan tarif interkoneksi tersebut.

Seharusnya dalam menetapkan HPP, pemilik jaringan biasanya menggunakan basis biaya (cost base) yang memperhitungan pengeluaran investasi (Capital Expenditure/Capex) dan biaya operasional (Operational expenditure/Opex).

"Sedangkan, operator pengguna jaringan hanya mengeluarkan biaya interkoneksi yang ditetapkan pemerintah. Dan pada akhirnya akan mengakibatkan operator yang malas membangun akan semakin malas membangun," terang Fahmy.




Aturan Kominfo mengenai penurunan biaya interkoneksi dinilai Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Joseph Matheus Edward, tidak masuk akal.

Selain prosedur yang tidak sesuai aturan, menurut Ian penetapan biaya interkoneksi tersebut tidak memiliki naskah akademis yang melandasi penetapan biaya interkoneksi menjadi Rp 204.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 52/2000 pasal 23 ditulis interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan disepakati bersama dan adil. Ini artinya penetapan biaya interkoneksi harus transparan harus menggunakan perhitungan cost base dan disepakati bersama oleh seluruh operator, tanpa terkecuali.

"Jadi jika kita mengacu pada PP tersebut yang mengatakan biaya interkoneksi harus disepakati bersama, maka semua operator harus setuju. Jika ada salah satu operator yang tidak setuju, maka aturan tersebut harus batal demi hukum," papar Ian.

Selain menggunakan metode perhitungan cost base seharusnya dalam penetapan biaya interkoneksi, pemerintah harus memasukan biaya pembangunan Capex, unsur resiko, quality of service (QoS) dan biaya operasional.

Ian menjelaskan Capex untuk pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah yang rural, remote area dan terpencil memakan biaya yang tidak sedikit. Sehingga menurut Ian sangat tidak fair jika pemerintah menetapkan biaya interkoneksi dengan pola simetris.

Memang secara teoritis, penetapan tarif interkoneksi secara pola simestris akan mencapai efisiensi di pasar. Namun dengan satu syarat yaitu coverage jaringan sudah menjangkau seluruh wilayah di suatu negara dan mencapai keseimbangan jaringan antar operator.

Jika keseimbangan jaringan belum terpenuhi, kebijakan penetapan tarif interkoneksi secara simetris akan menyebabkan blunder bagi industri telekomunikasi. Tidak hanya menghambat pembangunan jaringan, tetapi juga menciptakan persaiangan tidak sehat, sehingga tidak sesuai dengan tujuan Pemerintah dalam menetapkan tarif interkoneksi.

Hampir semua negara-negara Eropa memang sudah menetapkan tarif interkoneksi secara simetris lantaran tingkat coverage jaringan sudah mencapai antara 90% hingga 100%.

Swiss dan Kroasia sudah mencapai 100%, Austria, Yunani, Portugal dan Perancis 99%, Italia dan Spanyol 98%, Inggris 95%, dan Jerman 92%. Demikian pula dengan dua negara ASEAN, Thailand sudah mencapai 97% dan Malaysia 95%.

Ian menjelaskan bisa saja pemerintah mengatakan biaya pembangunan dibuat nol setelah sekian puluh tahun. Namun yang harus diingat pemerintah adalah operator harus mengeluarkan biaya operasional, menjaga kualitas jaringannya dan upgrade teknologi.

Logikanya, masih kata Ian, komponen tersebut membutuhkan biaya yang besar. Hal itu harus menjadi perhatian pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo, dalam menetapkan biaya interkoneksi.

"Jika Kominfo mengabaikan semua komponen tersebut dalam penetapan biaya interkoneksi, maka siapa yang harus bertanggung jawab dalam membangun dan memelihara jaringan telekomunikasi dikemudian hari? Jadi jangan sampai mementingkan segelintir operator, kepentingan nasional dikorbankan," sesalnya.

No comments:

Post a Comment